Rabu, 27 Mei 2015

11:09 PM - No comments

Bulan Penuh dan Bintang

"Ada apa gerangan, mengapa mesti tergesa - gesa.
Tak bisakah tenang, menikmati bulan penuh dan bintang.
Lalu mengarungi waktu dengan lapar yang menyakitkan.
Menyikapi semua dengan kesabaran.."


Puitis banget yaa ? Entah, lagi hobi banget baca-baca atau denger-denger segala hal yang puitis. Tapi puitis yang berkelas, bukan puitis gombal murahan semacem, "Aku akan tembus segala rintangan di dunia demi kamu beb~". Cuih, udah nggak jelas konsep puitisnya, pake panggilan yang terlalu ngehits pula.


Itu tadi petikan lagu kepunyaan Iwan Fals featuring Indra Lesmana. Judulnya, "Haruskah Pergi". Ini lagu enak banget suasananya, tenaaaang, damaiii. Meski suara pianonya kedengeran monoton, tapi didengerin berulang-ulang pun nggak bosen. Mungkin karena lagu ini dibuat dengan jiwa yang bener - bener merindukan kedamaian. Bukan jiwa yang lagi haus akan materi dunia..



Tulisan kali ini aku juga nggak terlalu paham sih bakalan ngebicarain soal apa. Agak susah membuat garis besar soal apa yang bakal aku omongin disini. Jadi kali ini aku bakalan ngomongin soal Kedamaian, Ketenangan, dan Kebahagiaan. Hmmm, berat mungkin kalau kalian ngebayangin soal begituan. Tapi tenang aja, buat kalian orang-orang yang malu buat nunjukin kertas hasil tes IQ kalian, dan buat orang - orang yang berani nunjukin tapi dengan embel - embel statement "Aku kemaren ngerjain ga serius, jd cuma segini." atau "Apaan, tes beginian sih nggak bisa ngegambarin kecerdasan.". Tenang aja, aku bakal bikin ini sederhana. Berbahagialah..

N : "Kamu ada waktu longgar kapan ??"
A : "Gatau. Awal bulan depan mungkin. Kenapa ?"
N : "Penat niih, ke pantai yuuk."
A : "Aku lagi pengen ke tempat yang tenang, nggak rame, hawanya enak, pemandangannya bagus."
N : "Ke kuburan aja, bawa kipas angin sama bawa foto-fotonya Taylor Swift." (Orang mau ziarah mungkin pada takut, dibawah pohon gede tengah kuburan, orang duduk berdua kipasan, sambil diem nontonin foto Taylor Swift. Orang yang gabisa dibaca tujuan tingkahnya itu serem, men.)

Hmm, tempat tenang, nggak rame, pemandangan bagus, suasana bagus. Selain ide nggak rasional tadi, ada ga sih solusi lain buat nemuin tempat semacem itu saat ini ? Susah ? Nggak mungkin ? Aku lebih setuju kalau susah, karena segala hal itu mungkin aja terjadi. Inget, kita bukan Tuhan, jd berhenti sombong dengan bilang, "Ah nggak mungkin". Coba liat sekeliling kalian, Tuhan udah nunjukin kuasaNya. Lihat deh, pasti pernah ngeliat cewek yang cakepnya nggak sopan, tapi punya cowok yang tampangnya udah semacem korban tabrak lari yang nggak mandi 6 hari. Ada, gitu itu ada.

Beberapa hari yang lalu aku sama temen - temen yang nggak seberapa jumlahnya itu maen - maen ke gunung. Niat kita sih pengen istirahatin pikiran yang digeber terus sama dosen. Iya cuma itu. Di perjalanan berangkat, yang ada di pikiran kita adalah naik gunung tenang, sejuk, dan lelah - lelah yang terintervensi oleh bintang langit. Tapi apa yang terjadi begitu sampai di gerbang pendakian ? Buuum, penuh sesak semua sama kendaraan yang parkir ga beraturan. Miring sana, miring sana, tumpuk sana, tumpuk sini. Begitu juga dengan jalur pendakiannya, ini semacem jalan malioboro versi nanjak curam dan mati lampu.

Orang. Jumlah orang di dunia ini ternyata banyak banget sob. Coba deh bayangin, di tahun 2012, penduduk di Pulau Jawa sendiri ada 141 juta orang ! 141 juta ! orang ! Ini seandainya setiap orang mau nyisihin 1000 rupiah buat aku, aku bisa dapet 140.999.999.8000. Hampir 141 milyar. 2000nya itu karena aku ga keitung, dan 1000 lagi buat parkir..

141 juta orang itu tentunya secara garis besar, punya pandangan yang sama akan kriteria mengenai tempat apa yang dia gunakan sebagai tempat tenangnya. Misal 1%nya aja yang tempat tenangnya adalah gunung, maka 1,41 juta kepala bakal ngincer gunung buat refreshing. Itu cuma 1%nya yaa, dan aku yakin faktanya lebih dari itu. Bayangin, berjuta - juta orang ngincer hal yang sama dengan kita mengenai tempat yang digunakan buat mendapat ketenangan. Ekspektasi kita soal tempat yang membawa ketenangan sepertinya perlu diturunkan.

Apa yang salah sih sebenernya ? Nggak ada yang salah juga kan dari pribadi yang mengharapkan sebuah tempat yang tenang, tempat yang sesuai dengan ekspektasi dia untuk melepaskan segala beban pikiran. Ya mungkin itu emang sifat alami manusia. Sifat manusia yang haus akan pemenuhan keinginan dari dalam dirinya.

Nggak ada yang salah juga dengan keinginan setiap pasangan baru untuk memproduksi manusia - manusia baru, hingga akhirnya berdampak pada tercapainya angka 141 juta orang di jawa. Siapa sih yang nggak pengen punya keturunan, siapa sih yang nggak punya cita - cita buat membangun keluarga kecil bahagia. Iya, mungkin segala keuntungan yang kita bayangkan seandainya punya keturunan mengesampingkan dampak orang baru terhadap angka 141 juta.

Sadar nggak sih, kalau dunia hiburan kita saat ini mempengaruhi kriteria yang kita tetapkan buat mencari kebahagiaan ? Kita dari kecil selalu aja didoktrin soal tempat - tempat yang menakjubkan. Entah dari film, sinetron, acara tv, hingga infotainment sekalipun. Segala yang terlihat di berbagai gambar dunia hiburan adalah tempat yang punya suasana menyenangkan, pemandangan indah, dan 'sepi'. Iya, SEPI. "Disana hanya ada kamu dan orang - orang dekatmu. Tidak ada orang lain di sekitar kalian."


Hal tersebut tergambar jelas bahwa subjek yang ada di media sedang berbahagia lepas dengan alasan karena berada di kondisi seperti itu.


Dan akhirnya, setiap orang yang melihat tingkah laku orang yang ada di media tersebut, kita punya hasrat buat ngelakuin hal yang sama. Secara tidak sadar, kita netapin standar kalau kita bakalan bisa bahagia minimal seperti yang ada di media tersebut. Tapi tau ga, sebagian besar proses bahagianya yang tampil di media itu punya pengaturan yang luar biasa dibaliknya. Contoh sederhana aja, ketika kita selfie.

Titik lokasi tempat kita melakukan selfie tentu bakalan dipilih yang tidak ada orang di belakangnya. 'Hanya aku, kamu, dan lukisan Tuhan yang kita pinjam'. Kita lebih seneng memamerkan ke khalayak umum kalau kita habis datang ke sebuah tempat yang seolah itu privat hanya milik kita. Jarang sekali orang lebih bangga memamerkan sebuah tempat mencari ketenangan yang berisikan 1 juta orang/meter persegi. (Maen panjat pinang setinggi tower BTS tumpuk 5 mungkin).

Orang - orang yang kita ceritakan tentu merasa, "aku harus kesana buat melepas penat". Dan alam bawah sadar orang itu memasang standar dengan dasar cerita kita yang pernah kesana.

Tapi kenapa sih, kenapa kita harus punya standar yang sangat besar hanya untuk membuat kita tenang dan bahagia. Kenapa kita nggak mencoba buat nurunin standar hasrat kita buat hanya sekedar mencari ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan. Coba lihat sekeliling, tenang dan rasakan. Banyak hal yang bisa membuat kita merasa tenang dan damai. Nggak harus wajib pergi kesana biar bisa tenang.

Salahkah buat pergi ketempat - tempat yang seperti itu ? Nggak, nggak salah, nggak ada yang salah atau benar disini. Kalian bebas menikmati hidup kalian, dan bahkan sangat dianjurin buat eksplorasi hal baru. Tapi ketika ekspektasi kalian yang terlalu tinggi untuk mendapatkan kebahagiaan, itu yang menjadi masalah. Karena hal - hal yang diluar kemampuan kendali kita, mungkin nggak tepat buat disandingkan dengan ekspektasi yang tinggi.


"Tak bisakah tenang, menikmati bulan penuh dan bintang"


Iya, bener kata mas Iwan Fals. Tenang menikmati bulan penuh dan bintang. Semua bagian di dunia memiliki langit. Kecuali kalau kalian tinggal di gua sedalam puluhan kilometer. Dan langit selalu menyajikan pemandangan baru setiap waktu dan setiap tempat. Mungkin ini cara yang paling mudah untuk memenuhi hasrat kita soal pandangan, ketenangan, dan kedamaian.

0 komentar:

Posting Komentar