Selasa, 08 Juli 2014

12:33 AM - 2 comments

Anggit Love Papa Mama

"Anggit love Papa Mama"

Ketika mendengar serangkaian kata-kata tersebut, maupun melihatnya di suatu kesempatan, komentar apa yang pertama muncul di benak anda ?

Beberapa orang mungkin berpikir, kata-kata tersebut terdengar norak, 'anak mami' banget, dan sebagainya. Dan bahkan beberapa dari kita sering menjadikan kalimat-kalimat sejenis itu untuk sebuah candaan-candaan kecil dengan diiringi tawa mengejek. Dulu sering kan, ngedenger joke "Badan gede, muka garang, tato i love mama". Udah kadaluarsa sih joke semacem itu, dan kita sekarang udah nggak tersenyum ketika mendengarnya. Tapi dulu ? Ketika kita baru pertama mendengar ? Mungkin tertawa. Nggak salah sih, kita memiliki hak untuk berpendapat. Kita bebas berkomentar apapun. Santai aja..

Baru aja sih tadi Sore. Aku bareng anak-anak organisasi yang gamau sebenernya disebutin namanya ngadain buka bersama. Beda dengan gerombolan lain, yang ngadain buber tanpa tujuan jelas :

Janjian ribet banget dari jauh-jauh hari
Akhirnya di restoran mahal dengan kondisi penuh sesak dengan geng buber lain
Nunggu buka sambil ngegosip (Apa bedanya nunggu buka sambil makan kwaci ?)
Buka puasa selesai
Kadang sholat maghrib keteteran dan bahkan nggak sholat
Teraweh ? Maghrib aja enggak.
Kami kali ini beda. Skema cara kerjanya nggak seperti diatas.
"Kami buka bersama anak-anak Yayasan Pemeliharaan Anak dan Balita"
Yup, YPAB. Sepintas tentang YPAB, disana itu tempat pengasuhan banyak anak bayi dan balita. Berlokasi tidak jauh dari rumah sakit, bisa dibilang sebagian besar anak-anak ini berasal dari sana. Mereka diasuh dan dibesarkan di tempat ini, para bayi-bayi kecil yang tidak dijemput oleh orang tuanya..

Entah apa dasar kuat yang ada di benak orangtua-orangtua ini, sehingga mereka meninggalkan bayi yang sudah mereka rawat selama di kandungan. Entah pikiran gila apa yang muncul sehingga mereka bisa melahirkan anak, dan enyah seperti tanpa ada masalah apa-apa. Entah motivasi apa yang mendorong mereka bisa melakukannya. Alasan ekonomi kah ? Malu kah ? Kita semua nggak bisa berspekulasi mengenai alasan itu..

Begitu memasuki bangunan, kami disambut oleh beberapa anak laki-laki berambut plontos, 2 orang anak perempuan berambut pendek, dan beberapa suster yang merawat mereka. Anak-anak tersebut berlari ke arah kami yang sedang bersalaman dengan suster-suster beserta 2 orang cewek magang di tempat itu. Terlepas dari kondisi bangunan yang tua dan terkesan sedikit "horror", anak-anak polos itu bahagia..

Aku sendiri langsung berjalan ke tempat anak-anak yang masih bayi bermain di dalam kasur-kasur dengan pagar yang mengelilinginya. Entah apa nama benda itu, mungkin ada yang mau ngasih tau ?

Ada seorang anak balita berusia kira-kira 1,5 tahun yang membuatku tertarik untuk bermain dengannya. Dia seorang anak laki-laki berwajah cukup imut, dan sepertinya dia keturunan etnis arab. Saat itu dia hanya duduk terdiam dan terlihat bingung dengan banyak orang yang berdiri mengelilinginya. Kami mulai menggoda dia seperti layaknya ketika kita bertemu dengan anak kecil lainnya. Namun, berkali-kali kami memanggil namanya sembari menggoda dengan ekspresi wajah yang mengundang tawa anak-anak, dia tetap diam dengan pandangannya yang seolah bingung. Tak ada tawa maupun senyum yang muncul dari wajahnya..

Akupun sempat heran dengannya. Apa yang terjadi dengan anak ini, dia berbeda, namun secara fisik dia sama. Kemudian salah seorang dari kami mengeluarkan ponsel dan berniat untuk mengambil gambar anak laki-laki itu. Flash on, anak itu melihat ke arah ponsel dengan lampu terang menyala. Dia tersenyum, sedikit tawa kecil muncul di wajah polosnya.
"Dia tuli sejak lahir, mas. Mungkin gara-gara itu dia ditinggal sama orangtuanya.."
Kata-kata itu muncul dari cerita salah seorang suster ketika aku bertanya mengenai kondisi anak itu. Tuli. Satu kata itu menjawab pertanyaan yang sejak awal muncul.

Bukan keinginan anak itu untuk dilahirkan dengan kondisi tuli, dan bukan keinginan orangtua juga memiliki seorang anak yang tidak bisa mendengar. Tapi, apakah kita bisa memilih tentang apa yang Tuhan berikan ? Bukankah kita hanya mengoperasikan segala yang diberikan Tuhan, sesuai dengan 'buku manual' yang menyertainya ? Kita hanya makhluk ciptaan yang bergerak sesuai skenario yang Tuhan berikan.

Beberapa dari kita mungkin merasa sangat sedih ketika kita ditolak untuk bersekolah di tempat yang kita inginkan. Dengan 'dalil', "Impianku tuh sekolah disana, sekolah disana itu masa depanku terjamin." Kita terkadang terlalu merasa paling sengsara di dunia ketika yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tapi apa yang terjadi dengan anak laki-laki itu ? Dia baru berusia 1,5 tahun, dia memang tidak ditolak oleh sekolah, dia 'hanya' ditolak keberadaannya oleh orangtuanya..
Masih berpikir menjadi orang paling sengsara ? Nggak malu ?

Terlepas dari permasalahan itu, kita omongin dari sudut pandang orangtuanya. Pakdhe Sujiwo Tejo pernah bilang di bukunya yang berjudul "Lupa Endonesa" , dia mengkritik tentang konflik kita dengan negara tetangga yang kita anggep maling tari pendet :
"Seorang ibu bukanlah orang yang melahirkan. Seorang Ibu adalah orang yang merawat dan membesarkan.."
Setuju nggak ? Jadi masih pantes nggak ketika ada statement "mereka ditinggal di rumah sakit oleh Ibunya" ?
Seharusnya : "Mereka ditinggal di rumah sakit oleh kendaraan yang mereka gunakan untuk muncul di dunia."

Terlepas dari seberapa sakitnya melahirkan, repotnya merawat kandungan, dia tetap tidak sesuai menyandang gelar 'Ibu' bagi anak itu. Memiliki anak yang 'berbeda' memang tidak sesuai dengan apa yang orang-orang inginkan. Tapi bukankah Tuhan adalah satu-satunya yang menyandang gelar 'Maha Adil' ? Betapa sombongnya anda ketika berpikiran ataupun berucap "Tuhan tidak adil"..

Aku emang baru berusia 19 Tahun, apa yang aku tahu tentang memiliki sebuah anak ketika aku masih berkutat dengan tugas khas mahasiswa pada umumnya ? Aku ga tahu apa-apa, tapi aku punya satu orang idola yang berkali-kali sukses membuatku kagum. Seorang Tante yang memiliki anak mengidap Celebral Palsy

Aku ga akan ngejelasin apa itu Celebral Palsy, kalian memiliki internet yang sangat percuma apabila hanya digunakan untuk melihat timeline atau berfantasi dengan pertunjukkan tak senonoh.

Sepupuku ini perempuan. Sekilas dia terlihat seperti anak perempuan lain berusia 7 tahun, manis, imut, dan lain sebagainya. Tapi karena penyakit yang dideritanya, di usia 7 tahun ini dia belum bisa berbicara jelas. Berjalan pun baru saja. Tingkahnya layaknya anak berusia 2 tahun, dengan ukuran badan 2x lipat dari anak berusia 2 tahun. Semua itu nggak cukup untuk membuat tanteku ini mengeluh. Dia sangat bahagia menerima apapun yang menjadi karunia Tuhan.

Apakah Tanteku ini hanya menerima dan merawat seadanya ? Enggak. Dulunya dia memiliki rumah besar, beserta tanah luas yang berada di pusat Jogjakarta. Demi pengobatan anaknya ini, dia jual dan sewakan semua tanah dan rumah yang dimilikinya. Kini Tanteku ini tinggal di sebuah kost-kostan yang berada di belakang rumahnya dulu. Sedih ? Enggak, dia sangat bangga dengan anaknya. Setiap aku kesana, dia pamerin hasil karya anaknya itu yang dia sekolahkan di sebuah sekolah alam..

Berkali-kali kita lupa mengenai apa itu bersyukur. Konyol memang ketika kita mengingat masalah yang kita keluhkan, lalu melihat masalah yang dialami oleh orang lain, dan masalah mereka jauh lebih serius. Dan terkadang,
"apa yang kita miliki saat ini adalah hal yang sangat diinginkan oleh orang lain, dan tanpa kita sadari kita juga menjadi orang lain itu."
Beranjak dari anak laki-laki yang tidak bisa mendengar, aku berkumpul dengan anak-anak yang lebih besar. Kira-kira mereka berusia 7 tahun. Mereka sedang bermain, berlarian dengan tawa lebar dan teriakan yang terkadang begitu risih didengarkan oleh telinga. Tak apa, mereka memang masih dalam masa bermain. Tidak ada laporan, paper, maupun presentasi yang memaksa mereka untuk tidak tertawa lepas.

Namun sampai kapan mereka akan tertawa lepas seperti ini ? Kelak mereka akan sadar mengenai apa yang hilang dari dalam hidup mereka, sosok penting yang merangkul, mendorong, mengarahkan, menenangkan, dan menarik mereka dengan penuh kasih sayang. Orang tua..

Kelak mereka akan menginjak remaja. Masa dimana anak-anak yang lain sudah melalui masa 'berpegangan' menuju masa 'membenci' orang tua mereka, sementara anak-anak ini masih bertanya-tanya "bagaimana rasanya berpegangan ?" 

Ingatkah kita ketika kita masih seusia mereka, Bagaimana kita merengek-rengek meminta mainan baru karena sudah bosan ? Meminta baju baru dengan gambar yang sesuai dengan keinginan kita ? Di lain sisi, anak-anak ini hanya menanti sumbangan-sumbangan orang-orang dermawan yang sudah bosan dengan apa yang mereka kenakan. Mereka tidak bisa melakukan fitur 'memilih' barang seperti yang anak-anak lain miliki. Karena semua yang mereka gunakan dan kenakan hanyalah pemberian dari orang-orang yang bosan..

Di saat berbuka, pandanganku terpaku dengan apa yang dikenakan oleh salah satu anak perempuan yang duduk didepanku. Perasaan miris, dan lapar bercampur aduk di tengah berbuka puasa. Anak itu mengenakan kaos putih, yang terlihat sudah cukup usang dan tentunya itu adalah salah satu sumbangan orang-orang dermawan. Di bagian belakang kaos itu, tersablon dengan cukup besar di bagian atas.
-Segaris kalimat yang aku sebutin di awal tulisan ini-
Bukan dia yang menginginkan kalimat tersebut tersablon di kaosnya, karena dia bukan Anggit. Dan dia tidak tahu bagaimana rasanya love papa mama